Angin berhembus dengan kencang sampai membuat
kertas-kertas itu beterbangan, dia hanya duduk termenung melihat kertas-kertas
yang telah berjatuhan ke meja, lemari, lantai dan bingkai foto. Dia hanya duduk
di sofanya dengan wajah penuh kecemasan. Namanya Henry, seorang anak laki-laki
yang baru lulus SMP.
Henry bimbang pada apa yang akan terjadi di
SMA nanti. Apakah nasibnya akan sama seperti di SMP? Dimana dia selalu di hina,
di jailin, di bully dan dijauhi oleh teman-temannya. Namun, bukan itu yang
dipikirkan oleh Henry, yang dipikirkannya adalah “Apakah dia bisa mendapatkan seorang
teman?”
“Kapan aku bisa mendapatkan seorang teman?
Apa aku tidak berhak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup seperti orang
lain?” Pikir Henry.
Henry memang orang yang tertutup, dia selalu
minder jika diajak ngobrol oleh temannya, terutama anak perempuan. Alasan dia
minder adalah traumanya saat dibully di SDnya secara tidak manusiawi.
Salah satu contoh kecilnya adalah saat dia kelas 5, saat itu adalah jam 06.20 pagi. Henry sedang bermain dengan mainan action figurenya di kelasnya dengan serunya. Dia tidak memerdulikan jika teman-temannya melihat dia memainkan mainannya. Tiba-tiba datang seorang temannya yang bertubuh kurus dari Henry dan rambutnya rancung ke atas.
‘Hen, boleh nggak aku pinjam mainannya?’
Tanya temannya.
‘Oh, Fauzi. Boleh, ini.’ Kata Henry
memberikan mainannya pada Fauzi.
Bel tanda masuk pun berdering, semua murid
kembali duduk ke kursinya masing-masing. Henry hanya bisa melihat Fauzi yang
duduk memainkan mainan Henry. Setelah bel istirahat berdering, Henry mendatang
Fauzi dan meminta dia mengembalikan mainannya, Fauzi menolaknya dengan kasar.
‘Kalau kamu mau, kamu harus kejar aku Black
Henry!’ Kata Fauzi yang mendorong Henry sampai Henry terdorong ke sebuah meja.
Henry bergegas berdiri dan berlari keluar
untuk mengejar Fauzi, Henry mengejar Fauzi secepat yang ia bisa namun
sayangnya, akibat perut Henry yang buncit, dia sudah sesak nafas lagi sehingga
dia tidak kuat lagi. Henry terhenti untuk bernafas, mengetahui itu, Fauzi mulai
memanasi Henry.
“Kenapa? Udah capek lagi? Mau lihat aku bakar
mainan kampungan kamu ini?’
Mendengar itu, Henry mulai marah, dia pun
mengejar Fauzi lagi secepat mungkin tanpa memerdulikan kondisinya. Fauzi pun
berlari lebih cepat lagi, mereka pun berlari terus-terusan tanpa henti, Fauzi
memang seorang pelari yang hebat di sekolah tapi Henry bukanlah seorang pelari
yang bagus, bahkan dia dapat nilai D pada tes lari. Akhirnya setelah 10 menit
mengejar Fauzi, Henry berhasil merebut mainanya dari tangan Fauzi, Fauzi
terlihat tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
“Nggak mungkin gembel kayak dia bisa ngalahin
aku.’ Ucap batinnya kesal.
Karena tidak percaya pada apa yang terjadi,
Fauzi langsung mencoba merebut mainan itu dengan paksa, tentu saja Henry tidak
begitu saja membiarkan mainannya direbut oleh Fauzi. Oleh karena itu,
terjadilah perebutan mainan oleh 2 anak kecil dengan maksud yang tidak penting.
‘Balikin mainannya dong! Aku belum selesai
mainnya.’ Paksa Fauzi.
‘Nggak mau! Aku capek ngejar kamu tahu!’
Berontak Henry.
‘Anjing! Lepasin nggak!’ Teriak Fauzi
memaksa.
Lalu, Fauzi memukul perut Henry dengan sekuat
tenaga, beruntung Henry memiliki perut yang cukup besar, jadi pukulan Fauzi
tidak terasa begitu sakit. Namun, karena Fauzi memukul perut Henry secara
terus-menerus, Henry sudah mulai merasa sakit. Karena Henry sudah tidak kuat
lagi, dia langsung menjatuhkan dirinya ke lantai dan memegang mainannya didepan
tubuhnya untuk melindungi mainannya. Fauzi pun tidak habis akal, dia memanggil
teman-temannya untuk membantunya merebut mainan Henry, Fauzi dan teman-temannya
menendang, menginjak dan memukul Henry secara membabi buta sampai Henry
terjatuh pingsan.
‘Zi, dia pingsan! Gimana nih?’ Tanya salah
satu temannya panik.
Fauzi mengambil mainan Henry dari tangan
Henry dan berkata’Udah tinggalin aja, nggak ada untungnya kasihan ke gembel
ini.’ Fauzi pun membuang air liurnya tepat ke kepala Henry lalu, Fauzi dan
teman-temannya meninggalkan Henry yang pingsan tidak berdaya begitu saja.
Begitu kejamnya bully dan diskriminasi di
dunia ini.
Henry terenung sejenak, memikirkan akankah dia akan seperti itu di SMA nanti? Dimana banyak tawuran, bully dan narkoba merajalela. Henry pun meninggalkan sofanya dan mulai memungut kertas-kertas yang berserakan tadi. Dia terdiam saat memungut kertas yang menutupi fotonya.
‘Sejelek ini kah aku? Apa ini alasan mereka
menyiksaku?’ Pikir Henry sedih.
Dia memandang fotonya dengan sedih. Kulitnya
yang hitam, tubuhnya yang tambun, wajahnya yang penuh jerawat. Tidak heran
mengapa semua orang ingin menjadikannya korban bully. Namun, Henry memiliki
kelebihan, dia adalah murid yang serba bisa. Akibat kepintarannya ini, banyak
orang memanfaatkannya, contohnya saja, cinta terakhirnya saat kelas 3 SMP yang
berakhir tragis.
Saat itu Henry sedang duduk dibangkunya, dia
sedang belajar pelajaran yang akan dibahas hari ini, tiba-tiba seorang gadis
menghampirinya. Dia bertubuh tinggi, kulitnya putih, rambutnya panjang dan ada
tahi lalat di dagunya.
‘Henry bisa bantu aku ngerjain PR ini nggak?’
Tanya gadis itu.
Henry memandang gadis itu sejenak dan dia
mulai merasakan hal yang aneh.
‘Oh, Cindy, boleh-boleh.’ Kata Henry salah
tingkah.
Cindy pun duduk di sebelah Henry dan Henry
mulai mengajarkan apa yang ia bisa pada Cindy. Setelah sekian lama, Henry makin
merasa deg-degan berada di dekat Cindy, wajahnya agak memerah setiap ia melihat
Cindy.
“Inikah yang namanya cinta?” Pikir Henry.
Setelah beberapa minggu Henry membantu Cindy
dan sudah merasa lebih dekat, Henry berniat untuk menembak Cindy. Dia
menganggap bahwa memiliki pacar akan membuatnya tidak kesepian lagi. Di jam
istirahat, Henry menghampiri Cindy dibangkunya dan berkata ’Sin, ada yang mau
aku kasih tahu.’
‘Apa?’ Tanya Cindy.
‘Kamu mau nggak jadi pacar aku?’ Tanya Henry
malu-malu sampai wajahnya memerah.
Cindy tertawa mendengar apa yang baru saja ia
dengar, Henry mulai tersenyum dan bertanya ‘Apa itu artinya kamu nerima aku?’
Cindy tetap tertawa, dia menghentikan tawanya
dan berteriak ‘Najis!’
Henry terlihat sangat schoked.
‘Aku deketin kamu Cuma biar aku tambah pintar
aja, kamu pikir aku deketin kamu karena aku suka? Jangan mimpi deh! Nggak akan
ada cewek yang suka sama cowok buruk rupa kayak kamu!’ Hina Cindy
habis-habisan.
Semua teman-teman Henry menertawakan Henry,
Henry hanya terdiam menahan rasa sakit yang diterimanya. Ini adalah hal paling
memalukan dalam hidupnya, dan dia pun tahu satu hal ‘Cinta itu kejam.”
Henry pun mulai menangis mengingat masa lalunya yang kelam, dia sudah sering disakiti secara fisik dan mental sampai membuat dia menjadi seorang yang tertutup seperti ini. Dunia ini seakan-akan tidak pantas ditempati oleh dia, tidak ada orang yang sudi menjadi temannya selain ibunya sendiri.
Tiba-tiba masuklah seorang wanita yang
memakai daster merah, wanita itu melihat Henry yang sedang menangis.
‘Kamu kenapa nak?’ Tanya wanita itu.
Henry mengusap air matanya dan dia berkata
‘Ngak apa-apa kok bu.’
Ibunya menatap anaknya dengan canggung, dia
tahu kalau anaknya berbohong padanya. Dia mendekati anaknya dan memeluk anaknya
dengan hangat.
‘Jangan bohong hen, kamu tahu kan kalau kamu
tidak akan bisa membohongi ibumu sendiri. Ayo ke kamar dulu, ceritain ke ibu,
apa yang membuatmu sedih ya.’ Ucap ibu.
Henry menganggukan kepalanya, ibu melepas
pelukannya dan membopong Henry ke kamarnya. Henry berjalan pelan ke kamarnya
sambil terus mengusap air mata kesedihannya, ibu yang melihatnya dari belakang
merasa sedih melihat anaknya yang menangis seperti itu. Sesampainya di kamar
Henry, ibu menyuruh Henry duduk di kasurnya, sementara ibu duduk di kursi yang
berada tepat didepan Henry.
‘Ada apa Henry? Kenapa tadi kamu menangis?’ Tanya ibunya lembut.
‘Henry takut bu.’ Jawab Henry pelan.
‘Takut kenapa?’
‘Henry takut Henry nggak bakal punya teman
dan dibully lagi di SMA nanti bu.’
Ibu memandang anaknya dengan canggung, dia
mengerti apa yang dirasakan anaknya. Banyak sekali penderitaan yang ia lalui di
sekolahnya, itu bisa terlihat dari banyaknya bekas luka ditubuh dan wajahnya
terutama pipinya yang menghitam akibat Fauzi. Ibu memeluk anaknya lagi dan
berkata ‘Tenang saja hen, kamu tidak perlu memikirkan hal seperti itu. Kamu
harus belajar dengan giat agar kamu bisa menjadi dokter sama seperti ayah ya.’
Hiburnya
Henry mulai mengeluarkan air matanya lagi.
‘Tapi, Henry kesepian bu. Henry mau seperti
orang lain, memiliki teman, pacar dan dapat bergaul dengan teman-teman mereka.’
Ucap Henry sambil menangis.
Ibu memegang kedua pipi Henry dengan lembut.
‘Tenang saja, suatu saat nanti, kamu pasti
bakal punya banyak teman asalkan kamu mau terbuka pada mereka.’ Kata ibu.
‘Juga, jangan mikirin pacaran dulu, ibu nyekolahin kamu buat belajar bukan buat
pacaran.’ Lanjutnya
Ibu melepaskan tangannya dari pipi Henry,
Henry mengusap air matanya perlahan.
‘Ibu ngerti kenapa kamu mau pacaran, ibu
ngerti pasti kamu butuh perhatian lebih dari orang lain. Tapi, tolong jangan
coba buat pacaran dulu, karena ibu nggak tega lihat kamu sakit hati lagi
seperti tahun lalu.’ Kata ibu.
Henry terlihat merenungkan apa yang telah ibunya katakan padanya, dia mengerti kenapa ibunya melarang dia berpacaran itu karena ibu sayang padanya. Ibu tidak mau melihat dia sakit hati sampai dia masuk rumah sakit gara-gara dia tidak mau makan selama 3 hari akibat Cindy menolaknya secara tidak manusiawi.
‘Henry mengerti bu.’ Kata Henry mantap.
‘Kalau ada yang berani nyakitin kamu, lawan
aja ya. Ibu pasti tanggung jawab kalau dia nuntut.’ Kata ibu.
Henry menganggukan kepalanya.
‘Ingat hen, kalau kamu merasa kesepian kamu
masih punya ibu sama Allah. Kamu nggak akan merasa kesepian hen, ibu selalu
disini buat kamu.’ Hibur ibu.
Henry menganggukan kepalanya. Ibu berdiri
dari kursinya dan berkata ‘I think it’s enough, ibu mau kebawah dulu masak ayam
goreng kesukaan kamu ya.’
Henry mulai tersenyum dan menganggukan
kepalanya, ibupun pergi ke dapur meninggalkan Henry sendirian.
Henry berbaring
di kasurnya, memikirkan apa yang telah ibunya katakan lagi. Dipikir-pikir ibu
memang benar, tidak penting memikirkan pacaran bagi seorang anak sekolahan,
yang wajib mereka lakukan adalah belajar keras agar mereka bisa menggapai
cita-cita mereka yang mereka buat dari kecil. Dan gara-gara masalah cinta ini,
ini yang membuat Henry tidak konsen belajar, nilainya selalu kecil saat dia
sedang naksir apalagi setelah ditolak oleh orang yang ia suka.
Percakapannya dengan ibu tadi telah membuka
matanya, tidak akan ada gunanya jika dia tetap begini saja, terpuruk dihantui
masa lalunya yang kelam. Dia harus berubah agar dia bisa menggapai
cita-citanya, Henry menjulurkan lengan kananya dengan tangannya mengepal ke
arah langit-langit.
“Aku bersumpah, aku tidak akan jatuh cinta
lagi!!” Ucap batinnya.
0 komentar:
Posting Komentar