Kamis, 18 September 2014

HALF HOUR

Ini sudah bulan September, hujan juga sudah berlarut-larut sejak 2 bulan terakhir. Ini sudah pertengahan September, aku sudah menunggu sejak pertengahan Februari 2 tahun yang lalu. Apa itu tak cukup lama? 

“Sesungguhnya orang yang melihat itu menunggu. Dan orang yang menunggu itu melihat.” 

-Guru Bahasa Asing- 

Seorang guruku pernah mengucapkan 2 kalimat tersebut. Aku menyebutnya bapak pintar, karena ada beberapa hal yang membuat aku kagum pada beliau. Kemahirannya dalam berbahasa. Ia menguasai bahasa yang benar-benar tak pernah membuat aku jatuh cinta, Bahasa Arab. Dan ia menguasai bahasa yang sejak dulu sangat ingin aku genggam, Bahasa Inggris. Aku tak mengerti, yang disebut oleh bapak pintar itu tidak ada yang sesuai denganku. Seperti kalimat kedua, aku sedang menunggu, namun aku tidak melihat siapa-siapa. Bahkan ia yang aku tunggu saja sudah lama tak aku temukan. Lalu kalimat pertama, orang-orang juga melihat sama halnya denganku. Namun nasib mereka tak sama denganku. Mereka tidak menunggu, mereka tidak bosan di tempat yang sama hingga berbulan-bulan, dan mereka-tidak malang. 

** 

Agatha melangkah dengan pelan menuju kamarnya yang terletak di lantai 2. Seperti kata pepatah, ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Badannya kini seperti diremuk oleh setiap apapun yang ada dihadapannya. Tugas-tugas sekolah yang menumpuk, Try Out yang datang silih berganti, pelajaran tambahan, ulangan harian, semuanya harus ia lalui dengan sabar. Beberapa bulan lagi ia akan menyelesaikan tahap akhir sekolahnya. Beberapa mimpi sudah ia rancang dengan rapi di sebuah kertas putih dan ditempel di kamarnya. Agatha adalah tipe anak yang tidak terima bila mimpinya gagal begitu saja. “Dunia tidak boleh menolak apapun impian ku!” begitu katanya ketika memandang langit. 

Tanpa basa-basi ia langsung menghempaskan badannya ke kasur. Pandangannya menyapu setiap sudut kamar. “Tak ada yang berubah,” batinnya. Berapa kali ia coba untuk mengatur nafas agar merasa lepas dari beban-beban anak kelas 3 SMA. Letih yang ia rasakan seperti tidak memberi kesempatan untuk sekedar mengganti pakaian sekolah. Agatha mengangkat tangan kirinya. Matanya langsung bertemu dengan jam tangan, ketika itu pukul 14.10 WIB. 

** 

“Athaaa,” suara wanita setengah baya terdengar dari balik pintu sambil beberapa kali memberi ketukan. 

“Ya ma?” 

“Kamu ada tamu, itu dibawah. Cepetan ya.” 

“Siapa ma?” 

“Ma?” Agatah mencoba sedikit menambah volumenya. Namun tetap saja tidak ada jawaban dari balik pintu. 

Agatha mencoba bangun dan memaksa kakinya perlahan menuruni anak tangga. Ia langsung menuju ruang tamu. Disana ada mama dan seseorang yang duduk dengan pakaian rapi. 

“Ma?” ia memanggil setengah berbisik. 

Wajah lelaki yang sejak tadi berbicang dengan mamanya kini tampak. Lelaki itu langsung saja melemparkan senyumnya pada Agatha. 

“Tha?” mamanya mencoba menyadari pandangan Agatha. 

Namun tetap saja, Agatha masih berdiri dan diam melihat wajah lelaki itu. Kevin, lelaki yang sudah lama tak ia jumpai. Mungkin sudah sekitar 1 tahun yang lalu. Kali terakhir ia bertemu Kevin, ketika mereka membuat janji untuk datang ke bioskop. Awalnya Agatha sudah membayangkan bahwa hari itu akan menjadi miliknya. Di hadapan teman-temannya ia akan membuat beberapa kali adegan mesra seperti ketika mereka bersama. Duduk di kursi yang bersampingan. Sayang, kenyataan kerap kali berbanding terbalik. Ntah hukum fisika apa yang sedang berjalan ketika itu. 

Agatha yang datang lebih awal bersama teman-temannya terpaksa menunggu Kevin datang. Setelah beberapa menit menunggu, Are teman Agatha datang dan membawa sederetan tiket masuk. Tak lama setelah itu, Kevin datang. Jantung Agatha tak bisa berhenti berdetak. Bahagianya sudah paksa ia simpan agar tak tampak bahwa ia menahan rindu. 

“Maaf lama Tha,” katanya sambil melempar senyum. 

“Iya gak apa-apa Vin.” 

“Sory, gue gak tahu. Jadi kayaknya ini tiket kurang 2 deh,” Are memotong pembicaraan singkat tersebut. 

Kevin yang datang bersama Radit sudah tahu siapa yang tidak dapat dibarisan tiket tersebut. 

“Jadi, gue beli dulu nih?” 

“Ya maaf vin, yaudah gue tunggu,” sebenarnya hati Agatha sedikit putus asa. Itu artinya khayalannya sudah salah. 

“Agatha?” Kevin mencoba untuk menyebut namanya. 

Lamunan Agatha hancur, ia yang baru menyadari sejak tadi sedang melamun langsung salah tingkah dan mengambil posisi duduk di diantara mama dan Kevin. Di meja tamu ada beberapa cemilan yang kebetulan buatan Agatha, dan segelas sirup yang tampaknya buatan mama siang itu. 

“Mama tinggal sebentar ya.” 

Agatha tak menahan mamanya. 

“Kamu apa kabar tha?” Kevin membuka. 

“Baik sih, ya bakal baik-baik aja. Kamu?” 

Sebenarnya, penyebutan aku kamu yang mereka lontarkan hanya berlaku ketika hubungan mereka sebagai kekasih saja. Tapi ntahlah, Agatha tak begitu mengubris hal itu. 

“Oh iya tha, aku bawa sesuatu sih buat kamu. Tapi maaf ya Cuma ini yang bisa aku kasih.” 

Kevin mengangkat sebuah kotak yang sejak tadi sudah ia letakkan di belakangnya. Perlahan Agatha membuka kotak tersebut, diatasnya juga sudah diselipkan surat. ‘Kebiasaan Kamu’ batinnya berbisik sendiri. 

“Suratnya dibaca ntar aja ya kalo kita udah dijalan.” 

Agatha langsung membuka matanya lebar-lebar dan memandang Kevin dengan tatapan setengah tak percaya. 

“Yaudah sih liat aja dulu itu. Suka gak?” 

Agatha melanjutkan. Ia menemukan setangkai mawar merah dan sebuah kotak music berbentuk keristal. 

“Kalau waktu itu aku kasih kamu mawar yang harga 3000 kalo sekarang aku udah kasih yang lebih mahal kok,” katanya sambil tersenyum. 

Agatha mengangkat kotak music Kristal tersebut dan melihatnya. Yang masih ia ingat, ketika pertama kali Kevin akan memberikannya itu. Kevin hanya mendengarkan suaranya lewat telfon, lalu bertanya, “Coba ya kamu tebak ini apa, pokoknya maininnya itu diputer, diguncang, terus kamu taro deh!” 

Dan kali ini Agatha kembali mengulang instruksi yang pernah Kevin berikan. Tawa mereka pecah, namun bukan tawa yang biasa Agatha lontarkan. Ada selipan rindu disana. 

“Kalau saja waktu aku yang mengatur, akan aku putar hingga titik itu berhenti 
dimana aku dan kamu kembali, bertemu.” 

“Yaudah tha, makasi banyak ya. Aku mintak maaf gak bisa lama-lama. Tapi besok jadi kan?” 

“Ya tergantung kamu aja, kalo jadi ya kamu hubungin aku aja.” 

“Besok aku jemput jam 11.00 ya?” tawarnya sambil mengedipkan sebelah mata. 

Agatha hanya mengangguk dan tersenyum. Ia mengantarkan Kevin hingga sampai ke depan rumahnnya. Hanya selang beberapa menit Yaris merah yang dikendarai Kevin tak tampak setelah dipersimpangann. 

Agatha yang tidak mampu menahan rasa bahagia nya sendiri langsung menghubungi teman dekatnya, Tala. Ia langsung menceritakan berbagai hal yang mereka bicarakan sejak tadi. 

“Ciee yang Kevin nya balik.” 

“Ya, aku juga gak tahu sih Tal. Lucu gak sih kalo di umur segini gue udah yakin banget jodoh gue dia?” 

“Ya gimana ya, gue sih yakin banget.” 

“Terus?” 

“Terus apanya, ya gue yakin aja.” 

“Kok yakin gitu doang sih tal? Kan gue mau denger yang lengkap. Biar gue lega.” 

“Ya pokoknya sih semuanya tergantung lo aja, bisa betah nunggu apa nggak.” 

Agatha terus tersenyum. 

** 

“Tha aku udah di depan rumah kamu. Aku gak perlu turun kan?” suara Kevin sangat jelas di telfon. 

“Gak usah vin, tunggu ya. Aku udah mau kesana. Lagian mama gak ada dirumah.” 

“Oke,” jawab Kevin sebelum ia menutup pembicaraan. 

Khayalan Agatha tetap saja berjalan. Ia mulai merencanakan bahagia seperti apa yang ia dapatkan kelak. Dan semua harapannya tak ada yang meleset. Seharian penuh dengan seseorang yang lama ia tunggu tetap saja akan membuahkan kebahagiaan yang sama seperti semula. 

Yaris merah yang Kevin kendarai kini berada tepat di halaman rumah Agatha. 

“Kamu gak mau turun dulu vin?” 

“Gak tha, aku banyak urusan.” 

“Oh yaudah, hati-hati di jalan ya.” Katanya sambil tersenyum. 

“Tha?” 

“Ya?” 

Mungkin Agatha adalah wanita paling rakus dengan harapannya terhadap Kevin. 

“Ada yang mau aku omongin,” tangan Kevin medarat di atas jemari tangan kanan Agatha. 

Agatha berusaha menahan senyumnya, bahagianya menggebu-gebu. 

“Kamu mau ngomong apa?” 

“Sebenernya, aku gak bisa ngomong ini ke kamu. Tapi karena aku takut nanti kita udah terlanjur bareng terus. Dan aku kenal kamu tha, hati kamu sensitife.” 

“Maksud kamu?” Agatha mencoba mencari mata Kevin. 

“Sebenernya aku gak bisa jalan sama kamu lagi. Aku ngjalanin akhir-akhir ini sama kamu karena aku Cuma mau nyoba, kita masih bisa cocok atau nggak? Dan setelah aku fikir-fikir kita memang bagusnya jadi temen tha. Dan aku mohon, kamu harus bisa terima kenyataan. Kalo aku jatuh cinta sama Tala.” 

Agatha membuang pandangannya. Harapannya di buang sebelum akhirnya ia injak-injak. 

“Kadang aku berfikir, untung apa jatuh cinta bila akhirnya harus 
‘Kehilangan’ juga?” 

** 

“Agatha, thaa..” lambat laun suara tersebut makin jelas. 

Agatha perlahan membuka matanya. Samar-samar namun pasti ia melihat wajah mama sudah berada disampingnya. 

“Kamu tidur dari jam berapa?” 

Sontak ia langsung mengangkat pergelangan tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 14.40 WIB. Ia langsung duduk dan mencoba mengulas lagi apa yang sudah diceritakan oleh mimpinya tadi. 

“Kamu belum makan loh, mandi ya mama tunggu di meja makan.” 

Hatinya masih merasa tak terima. Waktu setengah jam yang ia habiskan untuk tidur tadi menyiksa batinnya, fikirannya sedikit kacau, dan ia tak mau banyak bicara. Agatha mencari-cari iPhone miliknya. Setelah puas mengobrak-abrik kasur, akhirnya ia menemukan apa yang sejak tadi ia cari. Tangannya langsung mencoba mengotak-atik beberapa pilihan. Lalu ada kebimbangan yang mulai menghampirinya. Ia sangat ingin menghubungi Kevin, sekedar menanyakan kabarnya. Namun ia sedikit takut, karena bisa saja mimpinya tadi benar-benar sebuah petunjuk untuknya. 

Setelah berfikir berkali-kali, ia akhirnya memilih untuk tetap menghubungi Kevin. 

“Halo?” 

Mendengar suara Kevin yang sepertinya baik-baik saja membawa sedikit kelegaan pada Agatha. 

“Halo?” 

Agatha mulai bingung memulai dari kalimat mana untuk menanyakan arti mimpinya tadi. 

“Ha-halo?” jawabnya sedikit terbata. 

“Iya? Kenapa tha?” 

“Aku barusan mimpiin kamu, Vin. Maaf.” 

“Haha, maaf apa? Kamu mimpi apa?” suara Kevin tampaknya tidak sedikitpun mengkhawatirkan Agatha. 

“Aku mau nanya boleh? Tapi kamu jangan marah. Aku serius.” 

“Iya kenapa tha?” 

“Aku masih sayang banget sama kamu. Aku tadi mimpi kalo kamu balik lagi ke kehidupan aku. Tapi akhirnya kamu malah milih buat sama Tala.” Suaranya mulai bergetar. “Apa aku segitu gak cocoknya ya sama kamu? Atau kamu yang bener-bener gak ada perasaan lagi buat aku?” 

“Agatha, denger ya. Kamu mimpi aku balik ke kehidupan kamu? Aku gak pernah pergi. Ta, aku juga masih sayang banget sama kamu. Tapi aku ngerasa kalo untuk sekarang kita belum bisa barengan lagi. Aku masih ngerasa gak pantes. Sekarang gini ya, kan kita udah mau selesai SMA, kita sukses dulu. Kita perbaiki diri masing-masing. Setelah itu aku akan kejar kamu, tha.” 

“Mungkin rindu yang terlalu menggebu sudah salah dalam urusan menyetir. 
Akibatnya, rasa cintaku sedikit tergores oleh pinggir jalanan. Dan itu, tanpa aku sadari.” 

** 

Sekarang, aku sadar bahwa yang dikatakan oleh guru pintar itu benar. Sesungguhnya orang yang menunggu itu melihat. Ya, aku sedang menunggu, dan sesungguhnya aku sedang melihat masa depanku. Menunggu waktu yang tepat dan mempertemukan kami lagi. 

Melihat itu menunggu. 

Aku termasuk orang yang beruntung. Memang benar semua orang sama-sama melihat. Namun orang yang melihat tanpa menunggu adalah orang yang tak tahu kemana langkahnya selanjutnya. 

Maka menurutku, tunggulah sesuatu yang pasti. Dan yang harus kamu ketahui, semua cinta itu pasti. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerpen Go 4 Blog © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates