6 bulan telah berlalu.
Banyak sekali yang telah terjadi, Henry menjadi Ketua OSIS dan Diah sebagai
wakilnya, Ismail berpacaran dengan Nada, dan yang paling luar biasa adalah
Henry mendapatkan ranking 1 disusul
oleh Diah dan Hadi. Di liburan ini, mereka berempat sedang di rumah Henry untuk
merayakan tahun baru. Jam sudah menunjukan pukul 23.30, mereka berempat sedang
duduk-duduk di Ruang Tamu, ngobrol-ngobrol sambil makan snack yang sudah disediakan.
‘Hen, nanti kita
tidur dimana?’ Tanya Diah.
‘Hah?! Kita kan
bukan muhrim. Masa mau tidur bareng?’ Tanya Henry bingung. Semuanya tertawa
terbahak-bahak mendengar reaksi Henry.
‘Lumayan hen, kapan lagi?’ Sambar Ismail
yang masih tertawa.
‘Maksud aku, kita
itu aku sama si Nada.’ Kata Diah kesal.
‘Terus, aku sama
siapa?’ Tanya Ismail.
‘Sama aku lah,
jangan kira kalau kamu pacaran sama si Nada berarti kamu boleh tiduran sama
dia. Kasihan dia, entar bangun-bangun bantalnya kebanjiran.’ Jawab Henry gurau.
Semuanya pun
tertawa terbahak-bahak lagi.
‘Jadi, kita tidur
dimana hen?’ Tanya Nada.
‘Kalian yakin mau
nginap?’ Tanya Henry.
‘Iya lah, kan
bahaya kalau cewekpulang malem-malem kan?’ Tambah Diah.
‘Iya sih, entar
kalian ketemu nenek sihir dijalan terus dikutuk jadi terompet tahun baru
gara-gara pulang sendirian.
‘Bukan!’ Kata
Diah kesal.
Henry dan Ismail
pun tertawa.
‘Iya udah, tapi aku cuma ngasih tau aja kalau rumah ini angker
loh.’ Kata Henry.
‘Wah? Ada
setannya?’ Tanya Ismail nggak percaya.
‘Yo’i.’ Jawab
Henry kalem.
‘Widih! Bisa uji
nyali nih! Emang siapa setannya?’ Tanya Ismail girang.
‘Aku.’ Jawab
Henry kalem.
Mereka berdua pun
tertawa lepas. 2 teman perempuannya yang mulanya diam ketakutan malah jadi ikut
tertawa bersama 2 teman laki-lakinya.
‘Hen, kita tidur
dimana nih? Jangan bercanda terus ah.’ Tanya Diah kesal.
‘OK, OK. Di atas,
di seberang kamar aku.’ Jawab Henry yang masih tertawa kecil. ‘Pada mau masuk
jurusan mana nih? Kalau aku jelas mau masuk IPA!’ Lanjut Henry.
‘Sama.’ Kata
mereka kompak.
‘Wah sama nih.’
Kata Henry.
‘Ya hen, tapi
bantuin aku di Kimia dong.’ Kata Ismail. ‘OK.’ Jawab Henry.
‘Bantuin aku di
Matematika dong hen.’ Kata Nada.
‘Sip. Tapi,
bantuin aku di Fisika juga ya?’ Kata Henry.
‘OK.’ Kata Nada
yang mengacungkan jempolnya pada Henry.
‘Bantuin aku di
Bahasa Inggris dong hen.’ Kata Diah.
‘OK, tapi bantu
aku di Biologi juga ya.’ Kata Henry.
‘OK.’ Kata Diah.
‘Udah tahun baru
nih, diluar udah ada kembang api loh! Lihat yuk!’ Ajak ibu yang tiba-tiba
menghampiri mereka berempat.
Mereka berempat
pun langsung keluar untuk melihat indahnya kembang api yang meledak di angkasa.
Mereka meniup terompet mereka masing-masing dengan riang.
Henry mendekati Diah
dan bertanya. ‘Apa keinginan kamu di tahun ini?’
‘Aku mau ibu aku
sehat wal afiat.’ Kata Diah. ‘Kalau kamu?’ Lanjutnya.
‘Aku juga mau
sehat terus biar bisa sekelas sama kamu di kelas IPA nanti.’ Jawab Henry.
Diah pun
tersenyum pada Henry dan begitupula Henry. Malam awal tahun baru berasa
sempurna bagi mereka berdua.
‘Heh, pacaran
aja. Ayo masuk, udah malam nih. Kalian harus tidur sekarang.’ Kata ibu yang
menepuk pundak mereka berdua.
‘Sekamar bu?’
Tanya Henry.
‘Nggak lah
ngaco!’ Kata ibu.
Mereka berdua pun
masuk dan mereka sadar 1 hal. Ismail dan Nada meninggalkan mereka agar Henry
bisa berduaan dengan Diah. Henry terlihat kesal menyadari hal itu. Henry
memasuki kamarnya dan terlihat Ismail yang sedang tiduran di kasurnya dengan
senyum tengil menghiasi wajahnya. ‘Cie yang pacaran sama Diah, gimana? Udah
nembak belum?’ Goda Ismail.
‘Belum.’ Jawab
Henry datar.
‘Gimana sih? Aku
aja udah pacaran, masa kamu nggak?’ Tanya Ismail kesal.
‘Aku takut.’
Jawab Henry datar.
‘Takut ditolak?’
Tebak Ismail.
‘Bukan.’ Kata
Henry. ‘Aku takut kehilangan dia. Aku nggak mau kehilangan temen aku cuma
gara-gara cinta. Aku nggak mau mengubah senyumnya menjadi kesedihan dan
kebencian.’ Jelas Henry.
‘Widih, puitis
banget! Habis makan buku pantun pak?’ Ledek Ismail.
Henry pun
melempar bantal ke arah Ismail dan perang bantalpun terjadi di kamar mereka.
Sementara itu,
Diah memasuki kamarnya dan Nada terlihat sedangnasyik membaca buku sambil
tiduran. ‘Cie, yang habis mesra-mesraan sama si Henry.’ Goda Nada.
‘Apaan sih?’
Tanya Diah jutek.
‘Udah ada tanda
dia mau nembak belum?’ Goda Nada.
‘Maksud kamu
apa?’ Tanya Diah heran.
‘Ya, kayak
tanda-tanda dia suka kamu gitulah.’ Jelas Nada.
‘Kayaknya ada.’
Kata Diah angkuh.
‘Wih,
sombongnya!’ Ledek Nada.
‘Biarin.’ Ledek
Diah menjulurkan lidahnya.
‘Tapi, kamu juga
suka sama si Henry kan?’ Tanya Nada mulai serius.
‘Nggak lah.’
Jawab Diah datar.
‘Kalau gitu,
kenapa kamu nggak jadi pacarnya aja. Biar dia bisa jadi guardian angle kamu?’ Sindir Diah.
‘Sorry ya, aku udah punya Ismail.’ Kata
Nada. ‘Kamu aja yang sama si Henry, udah cocok kok.’ Lanjut Nada.
Diah pun melempar
bantalnya ke arah Nada. Dan keadaan rumah yang seharusnya hening malah jadi
berisik gara-gara ada 2 kamar yang sedang dilanda perang bantal.
‘Tidur woy! Udah
malam nih!’ Teriak ibu dari bawah. Mereka pun berhenti berperang dan kembali
tidur karena ketakutan. Dan suasana rumah pun tenang seperti seharusnya.
Malam tahun baru
telah berlalu, Matahari sudah menyinari hari yang baru. Anak-anak turun dari
kamarnya sambil membawa tasnya masing-masing, kecuali Henry. Mereka berempat
berjalan menuju ruang makan untuk berpamitan dengan ibu. Terlihat ibu sedang
duduk di kursi makan dengan 1 buah bungkus plastik yang terlihat penuh diatas
meja makan.
‘Bu, pamit dulu
yah.’ Kata Ismail.
‘Eh? Udah mau
pulang? Sarapan dulu yuk! Tante udah beli bubur buat sarapan nih.’ Ajak ibu
sambil menunjuk-nunjuk plastik itu.
‘Makasih tante.
Tapi, ibu udah nunggu dirumah.’ Tolak Diah sopan.
‘Oh, yaudah deh.’
Kata ibu. ‘Kalian tahu jalan pulang?’ Tanya ibu.
‘Tahu tante, kan
ada Ismail.’ Jawab Nada.
‘Kalau Diah?’
Tanya ibu melirik Diah.
‘Saya tahu kok
tante. Saya sendiri aja nggak apa-apa kok.’ Jawab Diah ramah.
‘Dianterin Henry
aja ya?’ Bujuk ibu.
Henry terlihat kaget bercampur malu mendengar itu. Mukanya
agak memerah sedikit.
‘Nggak usah
tante. Takut ngerepotin.’ Tolak Diah ramah.
‘Udah ah,
dianterin Henry aja ya?’ Bujuk ibu. ‘Hen, anterin Diah ke rumahnya gih.’ Suruh
ibu.
‘Iya bu.’ Kata
Henry. Henry pun segera ke kamarnya untuk mengambil ongkos dan jaketnya.
‘Ambil ini. Buat
dimakan di rumah.’ Kata ibu sambil membagikan masing-masing 1 bungkus bubur.
‘Makasih tante.
Assalamualaikum.’ Kata mereka bertiga.
Diah dan Nada pun
keluar sementara itu, Ismail sedang mengeluarkan motornya dari dalam rumah
Henry. Setelah sekian lama, akhirnya Henry dan Ismail keluar juga. Ismail sudah
menyalakan motornya dan Nada duduk di belakangnya.
‘Duluan ya!’ Kata
Ismail.
‘OK.’ Balas Henry
sambil melambaikan lengannya.
Ismail dan Nada
pun meninggalkan mereka berdua. Henry menoleh pada Diah dan bertanya. ‘Nggak
apa-apa kalau kita naik angkot? Tenang, aku yang ongkosin.’
‘Nggak apa-apa.’
Jawab Diah.
‘Tapi, kita harus
jalan dulu sampai depan gang. Nggak apa-apa kan?’ Tanya Henry.
Diah hanya
menganggukan kepalanya. Mereka berdua pun nerjalan menuju depan gang. Sepanjang
jalan, Diah pun bertanya pada Henry untuk melepas kebosanan. ‘Kenapa kamu nggak
pake motor?’
‘Aku kasihan sama
ibu aku. Motor kan mahal.’ Jawab Henry.
‘Emangnya kerjaan
ibu kamu apa?’ Tanya Diah.
‘Translator.’
Jawab Henry.
‘Bisa beli motor
dong kalau gitu. Gaji Translator kan gede. Atau ibu kamu emang pelit?’ Tanya
Diah gurau.
Henry pun tertawa
dan menjawab. ‘Iya sih, tapi umur aku masih 15 tahun. Kan yang boleh naik motor
itu minimal harus 17 tahun kan? Ibu aku nggak pelit kok, akunya aja yang nggak
mau dibeliin motor.’
Diah hanya tersenyum
sambil menganggukan kepalanya. Tak terasamereka sudah berada di depan Gang
lagi. Henry menanyakan dimana Diah tinggal tapi, tiba-tiba Diah menghentikan
sebuah Angkot dan menaikinya, Henry pun mengikuti Diah.
Mereka berhenti
di sebuah gang dan Diah langsung bergegas masuk gang itu, Henry cepat-cepat
memberikan ongkosnya ke si supir dan langsung berlari untuk mengejar Diah
sambil berteriak dengan kelelahan. ‘Diah, tunggu!’
Diah berhenti
sejenak untuk menunggu Henry yang mengejarnya dengan susah payah. Henry
berhasil mendekati Diah dengan nafas yang sudah terengah-engah akibat kelelahan
mengejar Diah.
‘Kenapa buru-buru
sih?’ Tanya Henry dengan nafasnya yang masih belum beraturan.
Tiba-tiba hujan
turun dengan lebat. ‘Takut hujan tau. Gara-gara nunggu kamu, kita jadi
kehujanan kan?’ Kata Diah kesal.
‘Oh, gara-gara
ini toh? Ya udah ayo jalan.’ Ajak Henry
sambil melepaskan jaketnya dan mengenakannya pada Diah. ‘Hei? Kenapa? Ini kan
jaket kamu.’ Tanya Diah terkejut.
‘Tidak adil kalau
hujan aku pake jaket sementara kamu nggak kan? Ibu aku yang ngajarin tata krama
itu.’ Jelas Henry.
Diah hanya
tersenyum malu dan langsung mengajak Henry untuk kembali berjalan. Mereka pun
kembali berjalan ke rumah Diah.
Sesampainya
disana, mereka melihat ibu Diah sedang membaca majalah dengan asyiknya di sofa.
Ibu Diah melihat mereka berdua berdiri di depan pintu, dia agak batuk dan
dengan senangnya ia berkata. ‘Eh, Diah udah pulang? Ayo masuk, ganti baju
kamu.’
Diah menganggukan
kepalanya dan segera melepas jaket Henry dan menggantungkannya di pintu dan dia
pun pergi ke kamarnya untuk ganti baju. Ibu Diah melihat Henry yang masih
berdiri disana sambil bersin-bersin. Melihat itu, dia mempersilahkan Henry
masuk. Henry masuk dengan segannya dan duduk di kursi di sebelah sofa yang diduduki
ibu Diah. ‘Diah, kalau udah ganti baju, buatin teh hangat buat teman kamu ya.’
Kata ibu Diah dengan nada keras.
‘Iya bu.’ Jawab
Diah dari kamarnya.
‘Jadi, nak
Henry.’ Kata ibu Diah membuka percakapan.
‘Iya tante?’ Kata
Henry.
‘Menurut Henry,
Diah itu kayak gimana?’ Tanya ibu Diah penasaran.
‘Diah itu cewek
yang baik kok bu.’ Jawab Henry santai.
Tiba-tiba Diah
datang membawa nampan dengan 2 cangkir teh hangat. Dia meletakan cangkir itu di
atas meja mendekati ibunya dan Henry. Karena kedinginan, Henry langsung meminum
teh itu dengan terburu-buru. ‘Henry suka sama Diah nggak?’ Tanya ibu Diah.
Tiba-tiba Henry
memuntahkan tehnya sampai jatuh ke baju dan celananya karena kaget pada apa
yang baru ditanyakan oleh ibu temannya ini.
‘Loh, ditanya kok
gitu?’ Tanya ibu Diah.
‘Ibu apa-apaan
sih?’ Tanya Diah kesal.
‘Ibu cuma nanya
doang kok.’ Jawab ibu Diah dengan polosnya.
Henry
terbatuk-batuk dan merasa perut dan pahanya kepanasan gara-gara teh yang ia muntahkan itu.
‘Diah, kamu
istirahat dulu aja ya. Kamu pasti kecapean kan?’ Suruh ibu Diah.
‘Henry gimana?’
Tanya Diah.
‘Udah kamu tidur
aja.’ Kata ibu Diah memaksa.
Diah pun berjalan
ke kamarnya untuk istirahat. Henry sudah terlihat baik-baik saja. ‘Pertanyaan
tante belum dijawab loh.’ Kata ibu Diah.
Muka Henry pun
memerah. Dia pun menghela nafasnya dan dengan malu-malu, ia berkata. ‘I, iya
bu.’
‘Sudah tante
duga.’ Kata ibu Diah yang sudah merasa menang.
‘Kenapa tante
tahu?’ Tanya Henry penasaran.
Ibu Diah
batuk-batuk lagi. Ia pun menjawab. ‘Dari aksi nekat kamu nyelametin Diah itu.
Tante yakin, kamu nyelametin dia karena suka kan?’
Henry hanya
terdiam, mukanya pun makin memerah. Ibu Diah mulai batuk-batuk lagi dan
berkata. ‘Kondisi tante saat ini benar-benar lemah. Jadi, kalau tante sudah
mati, tolong jaga Diah ya.’
‘Hush, jangan
bilang gitu tante! Pamali.’ Bentak Henry.
‘Tapi kamu memang
suka kan?’ Tanya ibu Diah.
‘Iya sih tapi,
saya nggak berani nembak. Pasti dia bakal nolak saya dan memusuhi saya.’ Kata
Henry malu.
‘Diah itu anak
baik kok. Tante yakin, dia pasti bakal nerima Henry apa adanya.’ Hibur ibu
Diah.
Henry pun mulai
tersenyum.
‘Tolong jaga Diah
ya.’ Kata ibu Diah.
Hujan sudah reda,
Henry menoleh keluar dan menoleh lagi ke ibu Diah. ‘Pasti! Saya pamit dulu ya
bu. Assalamualaikum.’ Kata Henry yang sudah moodnya
sudah kembali membaik.
‘Waalaikum
salam.’ Kata ibu Diah.
Henry berdiri
dari kursinya dan meraih jaketnya. Dia membuka pintu dan dia menoleh lagi ke
ibu Diah.
‘Titip salam ke
Diah ya tante.’ Kata Henry.
Ibu Diah
menganggukan kepalanya dan berkata ‘OK.’ Henry tersenyum padanya dan segera
pulang meninggalkan rumah Diah.
Henry sudah
pulang. Dia berjalan agak lunglai dan terbaring ke sofa, nafasnya
terengah-engah dan ia merasa sangat kepanasan. Ibu yang melihat itu, bergegas
menghampiri anaknya dan segera
membawanya ke kamarnya.
Ibu merawat
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kompres sudah menutupi kening Henry, bubur
sudah disiapkan dan obat sudah disiapkan.
Ibu duduk
disebelah anaknya dan bertanya. ‘Tadi kamu hujan-hujanan ya?’
Henry
menganggukan kepalanya. ‘Kenapa kamu hujan-hujanan?’ Tanya ibu khawatir.
‘Henry ngasih
jaket Henry ke Diah biar Diah nggak kehujanan bu. Kan ibu yang ngajarin Henry
buat gitu kan?’ Jelas Henry.
Ibu langsung
mengecup pipi anaknya karena bangga pada anaknya yang gentle ini. Henry pun tersenyum karena senangnya.
‘Gitu dong anak ibu. Ingat, melindungi
perempuan itu sama seperti melindungi ibu. Mengerti?’ Kata ibu dengan
bangganya.
‘Iya.’ Jawab
Henry senang.
Tiba-tiba wajah
ibu berubah menjadi datar saat melihat bekas luka Henry yang sudah menggembung.
Ibu menyuruh anaknya untuk berdiri dari kasurnya. Ibu mencoba menekan-nekan bekas
luka yang menggembung itu.
‘Gimana rasanya?
Sakit nggak?’ Tanya ibu khawatir.
‘Nggak.’ Jawab
Henry datar.
Ibu merasa takut.
Dia teringat pada perkataan Dokter itu bahwa ada tumor di dalam luka itu.
Ibu pun menghela
nafasnya dan berkata. ‘Hen, ibu mau jujur. Sebenarnya kamu harus tahu ini sejak
6 bulan yang lalu.
Henry
menganggukan kepalanya.
‘Ada tumor di bekas luka kamu. Dan itu harus dioperasi
biar tumor itu bisa diangkat.’ Jelas ibu.
‘Kapan Henry
bakal di operasi?’ Tanya Henry.
‘Insyaallah bulan
depan, pas ibu gajian. Apa kamu siap?’ Tanya ibu.
Henry menelan air
liurnya. Ia terlihat bimbang dan ketakutan.
‘Henry?’ Kata
ibu.
‘Insyaallah aku
siap bu.’ Kata Henry agak ketakutan.
Ibu memeluk
anaknya yang terlihat ketakutan. Dia mengeluarkan air matanya dan berkata.
‘Tenang aja hen, kamu pasti bakal baik-baik aja kok.’
Henry pun mengeluarkan air matanya. Dia tidak
bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya bisa menganggukan kepalanya saja.
Henry sedang
berbaring di kasurnya. Dia terlihat bimbang memikirkan operasi itu. Dia
mengusap-usap bekas lukanya yang mengembung itu dengan sedih.
“Apa aku akan
baik-baik saja?” Pikirnya.
Henry memang
takut pada operasi. Dia selalu melihat berita-berita mengenai mal praktek yang
berujung kematian. Bagaimana jika itu terjadi pada Henry?
Henry mencoba
menutup matanya. Mencoba untuk tidur, untuk menenangkan pikirannya. Setelah
sekian lama, tiba-tiba Henry terbangun.
Jam sudah menunjukan jam 1 pagi. Henry mendapatkan mimpi buruk lagi.
Dia sedang
tertidur di ruang yang serba putih. Ia dikelilingioleh orang-orang yang
berpakaian abu-abu dan bermasker. Mereka sedang mengoperasi bekas luk Henry dan
Henry hanya bisa diam karena ia telah dibius. Tiba-tiba terjadi mati lampu di
tengah-tengah operasi dan........ 1 dari mereka tak sengaja menyayat pipi Henry
karena terkejut.
Henry benar-benar
ketakutan pada mimpi itu. Bagaimana jika mimpi itu adalah suatu tanda seperti
mimpinya tentang Fauzi? Apakah ini akan menjadi kenyataan?
“Aku harus beritahu perasaanku pada Diah
sebelum itu terjadi!” Pikir Henry.
Setelah
menenangkan diri. Henry pun kembali tidur.
Sementara itu,
ibu sedang duduk di kursinya. Memikirkan tentang operasi Henry.
“Bulan depan?
Bagaimana aku bisa mengumpulkan banyak uang dalam waktu 1 bulan?” Pikir ibu.
Ibu pun meraih
HPnya dan menelepon seseorang.
‘Halo..?’ Kata
orang di seberang telepon sana.
‘Halo Haris.’
Kata ibu. ‘Ganggu nggak?’ Tanyanya.
‘Nggak kok. Ada
apa ya?’ Tanya Haris.
‘Aku pikir, aku
bakal terima tawaran kamu itu.’ Kata ibu agak bimbang.
‘Tawaran itu ya?
Kamu yakin mau ngelakuin itu?’ Tanya Haris.
‘Udah deh. Kapan
kita bisa ketemuan?’ Tanya ibu resah.
‘Di rumah aku
aja. Jam 5 sore tanggal 6 Januari.’ Jelas haris.
‘Bisa aku ambil
uangnya langsung?’ Tanya ibu.
‘Tentu.’ Kata
Haris.
‘OK, kita ketemu
disana jam 5, tanggal 6 ya.’ Kata ibu.
‘OK.’ Kata Haris.
Haris pun menutup teleponnya.
Ibu mulai
menangis. Salah satu hal terpentingnya akan segera hilang untuk selamanya.
Tapi, ini semua demi anak semata wayangnya. Seorang ibu pasti akan
mempertaruhkan segalanya asalkan anaknya baik-baik saja.
0 komentar:
Posting Komentar