Senin, 09 Juni 2014

The Ugly Guardian Angel : Malaikat Untuk Diah

Henry membuka matanya perlahan-lahan. Dia melihat cahaya terang menyilaukan di depannya, setelah dilihat-lihat, ternyata itu hanyalah lampu. Dia bangkit dari tidurnya dan melihat ketiga temannya tertidur di sampingnya. Dia melihat jam dinding yang menunjukan jam 6 sore. Setelah dipikir-pikir, Ternyata Henry berada di ruang UKS.

Dia melihat teman-teman barunya yang tertidur pulas, Diah dan Nada tertidur di kursi yang ada di samping kanannya sementara Ismail tertidur di kursi yang ada di samping kirinya. Henry menyentuh keningnya yang dibaluti oleh kapas dan plester dengan lembut, bekas luka di pipinya juga dibaluti oleh kapas dan plester yang sama. Dia menatap teman-temannya lagi, dia mulai tersenyum bahagia pada mereka bertiga. 
“Apa mereka yang merawatku selagi aku pingsan? Benar-benar baik teman-temanku ini.” Ucap benaknya dengan air mata yang keluar karena terharu. 
Baru kali ini dia mendapatkan teman sebaik mereka. Henry mencoba menyentuh bekas lukanya dan secara refleks dia berteriak kesakitan.
Mendengar itu, Ismail terbangun dari tidurnya dan terkejut melihat apa yang ada didepannya. ‘Henry?’ Kata Ismail. Henry menoleh pada Ismail dengan bingung. 

‘Hei, Henry sudah sadar!’ Kata Ismail girang.

Akibatnya, Diah dan Nada pun terbangun. Mereka bertiga langsung mendekati teman mereka yang baru siuman itu.

‘Kamu nggak apa-apa hen?’ Tanya Ismail cemas.
‘Kayaknya sih iya. Gimana staff-staff yang dan kak Fajar? Apa mereka selamat?’ Tanya Henry.
‘Iya, mereka selamat. Hanya saja, wajah mereka agak pucat. Mungkin gara-gara disekap di sana semaleman deh.’ Jawab Nada. ‘Yang jelas, semuanya selamat.’ Tambah Ismail.
‘Gimana si Fauzi sama si Hadi?’ Tanya Henry cemas.
‘Ngapain kamu nanyain soal mereka? Si Fauzi udah dijeblosin ke Rumah Saki Jiwa. Katanya sih, dia ada kelainan mental.’ Jawab Ismail bete. 
‘Kalau hadi cuma di skors dari sekolah selama 2 minggu.’ Tambah Nada.

Henry mengangguk-anggukan kepalanya.

‘Udah deh hen, kamu nggak usah khawatir sama mereka berdua. Mereka memang pantas dapetin itu kok.’ Hibur Ismail.
‘Iya deh, kamu bener.’ Kata Henry yang sudah mulai tersenyum. Ismail pun mulai nyengir didepan Henry.

Diah hanya terdiam memandang temannya tersenyum dan santai mengobrol. Sebenarnya Diah masih sedih, karena dia, Henry bisa seperti ini. ‘Kenapa kamu berani ngelakuin itu?’ Tanya Diah jutek.

Suasana pun berubah menjadi hening. Henry menoleh pada Diah dan tersenyum ke arahnya. ‘Ngelakuin apa?’ Tanya Henry kalem.

‘Itu, nyelametin aku. Sampai berkelahi gitu, maksudnya apa? Kamu pikir kamu siapa? Zoro? Kamu bisa mati loh.’ Omel Diah.
‘Aku ini Henry, bukan Zoro. Lagipula aku masih hidup kan?’ Gurau Henry.
’Jangan bercanda hen!! Kenapa kamu nekat sampai begitunya hen?!’ Tanya Diah marah.

Henry menghela nafasnya dan bertanya. ‘Apa kamu ingat apa yang aku katakan sebelum aku pingsan?’

Diah mulai mengingat kembali mengenai apa yang Henry katakan di gudang itu. 
‘Mudah untuk bahagia bohongan tapi sulit untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri.’ Jawab Diah.
‘Benar.’ Kata Henry.
 ‘Maksud kamu apa sih?’ Tanya Diah kesal.
‘Kamu ini temanku. Sudah jelas sesama teman harus saling menolong kan?’ Jawab Henry.
‘Iya sih, tapi kenapa kamu nggak lapor sekolah aja?’ Tanya Diah.
‘Nggak, itu urusanku dan Fauzi. Gara-gara aku, kamu sampai disekap di gudang seharian. Aku nggak mau teman aku menderita gara-gara aku dan aku nggak mau kehilangan teman-temanku. Karena itu, aku lebih baik berkelahi dengan Fauzi, karena itu adalah tanggung jawabku.’ Jelas Henry. Diah terdiam sejenak.
‘Kenapa kamu peduli amat sama si Diah? Suka ya?’ Goda Ismail. Diah menendang kaki Ismail dari bawah ranjang Henry dan Ismail pun teriak kesakitan. 

Henry hanya tertawa kecil dan berkata. ‘Bukan Mail, sebelum aku ketemu kalian, aku nggak punya teman satu pun. Dan aku benar-benar bahagia punya teman seperti kalian dan aku akan berjuang agar aku tidak kehilangan kalian.’ Jelas Henry.

‘Nggak punya temen? Masa sih?’ Tanya Nada tidak percaya.
‘Beneran. Dulu aku sering didiskriminasi gara-gara kulit aku yang hitam dan perut aku yang besar, banyak yang menjauhiku gara-gara itu, apalagi pas SD. Makanya aku benar-benar menghargai apa yang namanya teman. Karena, sumapah demi Allah, nyari temen itu susah banget buat aku.’ Jelas Henry.

Semuanya pun diam. Mereka sekarang mengerti apa arti teman bagi Henry. Jelas saja Henry nekat berkelahi dengan Fauzi, karena dia hanya memiliki 3 teman saja dan dia tidak mau kehilangan temannya walau hanya 1.

‘Hei, penggaris aku mana?’ Tanya Henry.
Ismail menaikan alisnya. ‘Penggaris? Buat apa? Kamu mau perang lagi? Udah aku buang.’ Katanya.
‘Apa?! Aku udah habis 6 ribu buat beli penggaris itu. Kan sayang kalau dibuang.’ Kata Henry kecewa. Semuanya tertawa menertawakan jawaban konyol Henry itu. ‘Gantiin ah.’ Kata Henry kesal. ‘Iya deh, ntar aku gantiin.’ Kata Ismail masih tertawa.
Diah pun tersenyum. Dia senang ada orang yang peduli padanya. Dia pun ikut tertawa bersama teman-temannya.

Tiba-tiba, seorang wanita berpakaian putih dan berambut panjang masuk dan menyapa mereka.

‘Siapa itu?’ Bisik Henry.
‘Bu Murni, guru yang ngerawat kamu.’ Balas Ismail.
‘Henry, kamu udah baikan?’ Tanya bu Murni.
‘Alhamdulillah bu.’ Jawab Henry senang.
’Kalian semua dipanggil bu Eli di TU.’ Kata bu Murni.
‘Saya juga bu?’ Tanya Henry.
‘Iya.’ Jawab bu Murni.

Ismail membantu Henry turun dari ranjangnya dan mereka berempat pun pergi menuju ruang TU.


‘Harus masuk Rumah Sakit?!’ Kata ibu tidak percaya.
‘Iya, menurut laporan Bu Murni, bekas luka yang ada di pipi Henry menjadi makin parah akibat Fauzi menyundutnya dengan rokoknya.’ Jelas bu Eli.
‘Jangan salahin anak saya terus dong bu! Bisa aja si Henry yang cari gara-gara kan? Anak saya baik kok bu.’ Sambar ibu Fauzi yang duduk di sebelah ibu.
‘Jadi ibu pikir anak saya minta anak ibu menyiksa anak saya sendiri, gitu?’ Sambar ibu emosi.
‘Nggak juga. Mungkin anak anda yang autis itu menyiksa dirinya sendiri agar anak saya bisa dijebloskan ke Rumah Sakit Jiwa.’ Kata ibu Fauzi dengan angkuhnya berdiri dari kursinya.
‘Apa anak saya yang baik-baik itu tega melakukan hal konyol seperti itu? Sekarang saya tahu, darimana Fauzi mendapat sifat setannya itu.’ Balas ibu berdiri dari kursinya.
‘Apa?!’ Kata Ibu Fauzi kesal.
‘Cukup!’ Teriak bu Eli memukul meja cukup keras. ‘Ibu-ibu, mohon tenang !’lanjut bu Eli. Ibu kembali duduk dan ibu Diah menepuk bahu ibu berusaha menenangkannya sementara itu, ibu Fauzi kembali duduk dan suaminya juga menepuk bahu istrinya.

‘Assalamualaikum!’ Kata seseorang dari depan pintu. Semuanya melihat ke depan pintu, terlihat Henry, Diah, Ismail dan Nada didepan pintu membawa tasnya masing-masing. Semua orang tua menghampiri anak-anaknya kecuali orang tua Fauzi tentunya.

Ibu Diah memeluk putrinya dengan erat dan bertanya. 
‘Kamu kemana aja nak? Ibu kangen.’ 
Sambil meneteskan air matanya. ‘Maaf bu, Diah ketakutan.’ Balas Diah menangis. ‘Sekarang kamu aman nak.’ Kata ayahnya sambil menepuk pundak putrinya.

Sementara itu, Henry langsung dipeluk ibunya dengan erat. 
‘Kamu bikin cemas ibu aja. Ibu kan udah bilang, kamu nggak usah sekolah kan?’ Kata ibu khawatir. 
‘Maaf bu, Henry nggak tega aja liat Diah kayak gitu.’ Jawab Henry. 
Ibu melepaskan  pelukannya. ‘Apa maksud kamu?’ Tanya ibu keheranan.

‘Henry tolong duduk.’ Suruh bu Eli yang masih duduk di bangku yang ada di depan Henry.

Henry pun duduk di depan bu Eli. Semua orang tua duduk di kursinya masing-masing di temani orang tuanya kecuali ibu dan orang tua Fauzi. 
‘Henry tolong jelaskan. Sebenarnya apa yang terjadi?.’ Tanya bu Eli. 
Henry meraih HPnya yang ada di dalam tasnya, dia pun menunjukan SMS dari Fauzi. Bu Eli pun membacanya. 
‘Apa benar ini SMS dari Fauzi?’ Tanya bu Eli. Henry  menganggukan kepalanya. ‘Benar bu. Itu SMS dari Fauzi.’ Kata Diah spontan.

Bu Eli menghela nafasnya dan bertanya. ‘Kenapa kamu nekat melakukan hal seperti itu sendirian hen?’

Henry pun menjawab. ‘Karena saya tidak tahan melihat Diah menderita seperti itu.’
‘Kenapa kamu begitu peduli padanya? Apa karena dia pacar kamu?’ Tanya bu Eli.
‘Bukan, Diah itu teman saya dan saya nggak rela kalau teman saya disakiti seperti itu.’ Jawab Henry. Bu Eli pun menepuk pundak Henry dan berkata dengan lembut. ‘Henry, kalau kamu sayang teman-teman kamu. Carilah jalan keluar yang lain, jangan pernah gunakan kekerasan untuk menyelesaikannya, mengerti?’ 
Henry pun menganggukan kepalanya. Henry berdiri dari kursinya dan berdiri ditengah para orang tua dan anak-anaknya yang sedang duduk memperhatikan dia. ‘Tolong maafkan saya untuk hari ini. Maaf sudah merepotkan.’ Kata Henry sambil membungkukan badannya.

Semuanya sudah pulang dengan lega, kecuali Henry, ibu dan orang tua Fauzi. Ayah Fauzi mendekati ibu dan berkata. ‘Tolong maafkan kelakuan anak saya ya bu. Sebagai permintaan maaf, biar saya tanggung biaya Rumah Sakit Henry ya.’ ‘Papa apa-apaan sih? Buat apa kita bantu janda tua ini merawat anak autisnya itu?’ Sambar ibu Fauzi.

Henry pun mendekati ibu Fauzi sambil menatapnya dengan tajam penuh dengan nyali yang besar. 
‘Tante,  saya tidak peduli tante mau bilang saya autis atau apa. Tapi, saya tidak terima kalau tante menghina ibu saya.’ Kata Henry dengan Nada mengancam. 
Ibu menepuk pundak anaknya dengan lembut dan berkata. ‘Sudahlah nak. Maaf saya tidak bisa menerimanya. Assalamualaikum.’ Mereka berdua pun pergi meninggalkan orang tua Fauzi. Ibu Fauzi hanya membuang muka pada mereka dengan angkuhnya.


Ibu menghentikan sebuah Angkot dan menaikinya bersama anaknya. 
‘Bu, kita nggak salah Angkot nih?’ Tanya Henry yang duduk di ujung bersebrangan dengan ibunya. 
‘Kita mau ke Dokter kulit.’ Jawab ibu.
Henry terkejut dan bertanya. ‘Ngapain?’
Ibu pun menjawab. ‘Periksa bekas luka yang ada di pipi kamu itu.’ Jawab ibu kalem.
‘Nggak apa-apa kok bu.’ Kata Henry pura-pura merasa baik sambil mencoba menyentuh bekas lukanya itu. Tapi, saat bekas lukanya benar-benar disentuh, dia teriak kesakitan.
‘Nggak apa-apa gimana?’ Ledek ibu.
‘Iya deh.’ Kata Henry pasrah.

Akhirnya, mereka sampai di tempat tujuan. Tempatnya seperti klinik biasa dengan toko-toko di sekitarnya. Setelah sekian lama menunggu di ruang tunggu, akhirnya namanya dipanggil juga. Henry pun memasuki pintu kayu itu dengan perlahan. Dia melihat ruangan serba putih dan ada seorang Dokter yang sedang duduk di kursinya. Henry pun duduk di kursi yang ada didepan meja Dokter itu.

‘Ada apa nak?’ Tanya Dokter itu. 
‘Ini dok, saya mau periksa bekas luka ini dok.’ Jawab Henry menunjuki bekas luka yang ada di pipinya itu. 
Dokter itu pun membuka kapas dan plester yang membaluti pipi Henry itu dan memeriksanya dengan senternya. Setelah sekian lama, Dokter itu kembali membaluti bekas luka Henry dengan kapas dan plaster yang baru.

‘Ya, cukup. Boleh saya bicara dengan ibu atau orang yang nganter ade kesini?’ Kata Dokter.

Henry pun mengiyakan permintaan Dokter. Dia keluar dan memanggil ibunya untuk masuk ruang Dokter. Ibu pun masuk ke Ruang Dokter dan Henry hanya duduk di Ruang Tunggu.

‘Anak saya kenapa dok?’ Tanya ibu agak khawatir.
‘Saya khawatir, ada tumor di pipinya bu.’ Jelas Dokter. Ibu pun schoked
‘Tumor itu harus segera diangkat melalui proses Operasi. Kemungkinan itu hanya kista hanyalah 5%. Saya sebenarnya bisa bantu hanya saja, peralatan disini tidak lengkap untuk menjalankan Operasi tersebut.’ Lanjut Dokter.
‘Baiklah dok, saya pamit dulu.’ Kata Ibu yang sudah berdiri dari kursinya.
‘Tunggu dulu. Jika bekas lukanya menggembung, dia benar-benar harus segera di operasi sebelum terlambat.’ Kata Dokter memperingatkan. 

Ibu hanya menganggukan kepalanya dan meninggalkan Ruang Dokter.
Ibu pun membayar administrasi dan mengajak anaknya pulang. 

“Tidak mungkin ada tumor di pipinya. Ya Allah, jangan sampai itu terjadi.” Ucap benak ibu.

Akhirnya, Diah pulang juga. Dia langsung duduk di sofanya dengan santai melepas lelah, ibunya tersenyum dan duduk disebelah putrinya itu. Ibunya senang sekali melihat putrinya pulang. 

‘Siapa cowok yang nyelametin kamu itu?’ Tanya ibu Diah.
‘Siapa? Henry?’ Jawab Diah kebingungan.
‘Iya itu! Nak Henry.’ Kata ibu.
‘Emangnya kenapa bu?’ Tanya Diah heran.
‘Dia pacar kamu ya?’ Goda ibunya.
‘Nggak lah bu.’ Kata Diah bete.
‘Tapi ibu suka kalau dia pacaran sama kamu. Apalagi nikah!’ Kata ibunya.
‘Ah, nggak bu.’ Kata Diah kesal sampai pergi ke kamarnya.

Ibunya hanya tersenyum. Setidaknya, dia lega karena, putrinya memiliki seorang guardian angel bernama Henry yang tulus melindunginya.

Diah berbaring di kasurnya sambil memainkan HPnya. Dia telusuri inboxnya dan dia menemukan SMS dari Henry. Dia membacanya sampai menangis. Dia teringat Henry yang selalu tersenyum didepannya, perasaan apa ini? Diah pun mengirim SMS pada Henry.

“Hai Henry! Lagi ngapain?”

HP Henry berdering menandakan ada SMS masuk. Henry meletakan piringnya dan membaca SMS yang ia terima, wajahnya mulai memerah dan ia mulai senyum-senyum sendiri. 
‘Dari Diah ya?’ Goda ibu yang duduk didepannya. Muka Henry makin memerah.
‘Kamu suka sama si Diah ya?’ Goda ibu.
‘I, iya bu.’ Jawab Henry malu.
‘Jangan pacaran dulu deh, nggak baik.’ Cegah ibu.
‘Iya lah bu, Henry juga nggak mau sakit hati lagi. Kan lebih baik menjadi jomblo berprestasi daripada pacaran kan?’ Kata Henry santai.
Ibunya tersenyum. Dia mengusap rambut anaknya dan berkata. ‘Gitu dong anak ibu.’

Henry mulai membals SMS Diah dan mereka pun SMSan sampai jam 11 malam atau bisa dibilang sampai diomelin ibunya masing-masing untuk tidur.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerpen Go 4 Blog © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates