Henry membuka matanya
perlahan-lahan. Dia melihat cahaya terang menyilaukan di depannya, setelah
dilihat-lihat, ternyata itu hanyalah lampu. Dia bangkit dari tidurnya dan
melihat ketiga temannya tertidur di sampingnya. Dia melihat jam dinding yang
menunjukan jam 6 sore. Setelah dipikir-pikir, Ternyata Henry berada di ruang
UKS.
Dia melihat
teman-teman barunya yang tertidur pulas, Diah dan Nada tertidur di kursi yang
ada di samping kanannya sementara Ismail tertidur di kursi yang ada di samping
kirinya. Henry menyentuh keningnya yang dibaluti oleh kapas dan plester dengan
lembut, bekas luka di pipinya juga dibaluti oleh kapas dan plester yang sama.
Dia menatap teman-temannya lagi, dia mulai tersenyum bahagia pada mereka
bertiga.
“Apa mereka yang merawatku selagi aku pingsan? Benar-benar baik
teman-temanku ini.” Ucap benaknya dengan air mata yang keluar karena terharu.
Baru kali ini dia mendapatkan teman sebaik mereka. Henry mencoba menyentuh
bekas lukanya dan secara refleks dia berteriak kesakitan.
Mendengar itu,
Ismail terbangun dari tidurnya dan terkejut melihat apa yang ada didepannya.
‘Henry?’ Kata Ismail. Henry menoleh pada Ismail dengan bingung.
‘Hei, Henry
sudah sadar!’ Kata Ismail girang.
Akibatnya, Diah
dan Nada pun terbangun. Mereka bertiga langsung mendekati teman mereka yang
baru siuman itu.
‘Kamu nggak
apa-apa hen?’ Tanya Ismail cemas.
‘Kayaknya sih
iya. Gimana staff-staff yang dan kak Fajar? Apa mereka selamat?’ Tanya Henry.
‘Iya, mereka
selamat. Hanya saja, wajah mereka agak pucat. Mungkin gara-gara disekap di sana
semaleman deh.’ Jawab Nada. ‘Yang jelas, semuanya selamat.’ Tambah Ismail.
‘Gimana si Fauzi
sama si Hadi?’ Tanya Henry cemas.
‘Ngapain kamu
nanyain soal mereka? Si Fauzi udah dijeblosin ke Rumah Saki Jiwa. Katanya sih,
dia ada kelainan mental.’ Jawab Ismail bete.
‘Kalau hadi cuma di skors dari
sekolah selama 2 minggu.’ Tambah Nada.
Henry
mengangguk-anggukan kepalanya.
‘Udah deh hen,
kamu nggak usah khawatir sama mereka berdua. Mereka memang pantas dapetin itu
kok.’ Hibur Ismail.
‘Iya deh, kamu
bener.’ Kata Henry yang sudah mulai tersenyum. Ismail pun mulai nyengir didepan
Henry.
Diah hanya
terdiam memandang temannya tersenyum dan santai mengobrol. Sebenarnya Diah
masih sedih, karena dia, Henry bisa seperti ini. ‘Kenapa kamu berani ngelakuin
itu?’ Tanya Diah jutek.
Suasana pun
berubah menjadi hening. Henry menoleh pada Diah dan tersenyum ke arahnya. ‘Ngelakuin
apa?’ Tanya Henry kalem.
‘Itu, nyelametin
aku. Sampai berkelahi gitu, maksudnya apa? Kamu pikir kamu siapa? Zoro? Kamu
bisa mati loh.’ Omel Diah.
‘Aku ini Henry,
bukan Zoro. Lagipula aku masih hidup kan?’ Gurau Henry.
’Jangan bercanda
hen!! Kenapa kamu nekat sampai begitunya hen?!’ Tanya Diah marah.
Henry menghela nafasnya
dan bertanya. ‘Apa kamu ingat apa yang aku katakan sebelum aku pingsan?’
Diah mulai
mengingat kembali mengenai apa yang Henry katakan di gudang itu.
‘Mudah untuk
bahagia bohongan tapi sulit untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri.’ Jawab
Diah.
‘Benar.’ Kata
Henry.
‘Maksud kamu apa sih?’ Tanya Diah kesal.
‘Kamu ini
temanku. Sudah jelas sesama teman harus saling menolong kan?’ Jawab Henry.
‘Iya sih, tapi
kenapa kamu nggak lapor sekolah aja?’ Tanya Diah.
‘Nggak, itu
urusanku dan Fauzi. Gara-gara aku, kamu sampai disekap di gudang seharian. Aku
nggak mau teman aku menderita gara-gara aku dan aku nggak mau kehilangan
teman-temanku. Karena itu, aku lebih baik berkelahi dengan Fauzi, karena itu
adalah tanggung jawabku.’ Jelas Henry. Diah terdiam sejenak.
‘Kenapa kamu
peduli amat sama si Diah? Suka ya?’ Goda Ismail. Diah menendang kaki Ismail
dari bawah ranjang Henry dan Ismail pun teriak kesakitan.
Henry hanya
tertawa kecil dan berkata. ‘Bukan Mail, sebelum aku ketemu kalian, aku nggak
punya teman satu pun. Dan aku benar-benar bahagia punya teman seperti kalian
dan aku akan berjuang agar aku tidak kehilangan kalian.’ Jelas Henry.
‘Nggak punya
temen? Masa sih?’ Tanya Nada tidak percaya.
‘Beneran. Dulu
aku sering didiskriminasi gara-gara kulit aku yang hitam dan perut aku yang
besar, banyak yang menjauhiku gara-gara itu, apalagi pas SD. Makanya aku
benar-benar menghargai apa yang namanya teman. Karena, sumapah demi Allah,
nyari temen itu susah banget buat aku.’ Jelas Henry.
Semuanya pun
diam. Mereka sekarang mengerti apa arti teman bagi Henry. Jelas saja Henry
nekat berkelahi dengan Fauzi, karena dia hanya memiliki 3 teman saja dan dia
tidak mau kehilangan temannya walau hanya 1.
‘Hei, penggaris
aku mana?’ Tanya Henry.
Ismail menaikan
alisnya. ‘Penggaris? Buat apa? Kamu mau perang lagi? Udah aku buang.’ Katanya.
‘Apa?! Aku udah
habis 6 ribu buat beli penggaris itu. Kan sayang kalau dibuang.’ Kata Henry
kecewa. Semuanya tertawa menertawakan jawaban konyol Henry itu. ‘Gantiin ah.’
Kata Henry kesal. ‘Iya deh, ntar aku gantiin.’ Kata Ismail masih tertawa.
Diah pun
tersenyum. Dia senang ada orang yang peduli padanya. Dia pun ikut tertawa
bersama teman-temannya.
Tiba-tiba,
seorang wanita berpakaian putih dan berambut panjang masuk dan menyapa mereka.
‘Siapa itu?’
Bisik Henry.
‘Bu Murni, guru
yang ngerawat kamu.’ Balas Ismail.
‘Henry, kamu udah
baikan?’ Tanya bu Murni.
‘Alhamdulillah
bu.’ Jawab Henry senang.
’Kalian semua
dipanggil bu Eli di TU.’ Kata bu Murni.
‘Saya juga bu?’
Tanya Henry.
‘Iya.’ Jawab bu
Murni.
Ismail membantu
Henry turun dari ranjangnya dan mereka berempat pun pergi menuju ruang TU.
‘Harus masuk
Rumah Sakit?!’ Kata ibu tidak percaya.
‘Iya, menurut
laporan Bu Murni, bekas luka yang ada di pipi Henry menjadi makin parah akibat
Fauzi menyundutnya dengan rokoknya.’ Jelas bu Eli.
‘Jangan salahin
anak saya terus dong bu! Bisa aja si Henry yang cari gara-gara kan? Anak saya
baik kok bu.’ Sambar ibu Fauzi yang duduk di sebelah ibu.
‘Jadi ibu pikir
anak saya minta anak ibu menyiksa anak saya sendiri, gitu?’ Sambar ibu emosi.
‘Nggak juga.
Mungkin anak anda yang autis itu menyiksa dirinya sendiri agar anak saya bisa
dijebloskan ke Rumah Sakit Jiwa.’ Kata ibu Fauzi dengan angkuhnya berdiri dari
kursinya.
‘Apa anak saya
yang baik-baik itu tega melakukan hal konyol seperti itu? Sekarang saya tahu,
darimana Fauzi mendapat sifat setannya itu.’ Balas ibu berdiri dari kursinya.
‘Apa?!’ Kata Ibu
Fauzi kesal.
‘Cukup!’ Teriak
bu Eli memukul meja cukup keras. ‘Ibu-ibu, mohon tenang !’lanjut bu Eli. Ibu
kembali duduk dan ibu Diah menepuk bahu ibu berusaha menenangkannya sementara
itu, ibu Fauzi kembali duduk dan suaminya juga menepuk bahu istrinya.
‘Assalamualaikum!’
Kata seseorang dari depan pintu. Semuanya melihat ke depan pintu, terlihat
Henry, Diah, Ismail dan Nada didepan pintu membawa tasnya masing-masing. Semua
orang tua menghampiri anak-anaknya kecuali orang tua Fauzi tentunya.
Ibu Diah memeluk
putrinya dengan erat dan bertanya.
‘Kamu kemana aja nak? Ibu kangen.’
Sambil
meneteskan air matanya. ‘Maaf bu, Diah ketakutan.’ Balas Diah menangis.
‘Sekarang kamu aman nak.’ Kata ayahnya sambil menepuk pundak putrinya.
Sementara itu,
Henry langsung dipeluk ibunya dengan erat.
‘Kamu bikin cemas ibu aja. Ibu kan
udah bilang, kamu nggak usah sekolah kan?’ Kata ibu khawatir.
‘Maaf bu, Henry
nggak tega aja liat Diah kayak gitu.’ Jawab Henry.
Ibu melepaskan pelukannya. ‘Apa maksud kamu?’ Tanya ibu
keheranan.
‘Henry tolong
duduk.’ Suruh bu Eli yang masih duduk di bangku yang ada di depan Henry.
Henry pun duduk
di depan bu Eli. Semua orang tua duduk di kursinya masing-masing di temani
orang tuanya kecuali ibu dan orang tua Fauzi.
‘Henry tolong jelaskan.
Sebenarnya apa yang terjadi?.’ Tanya bu Eli.
Henry meraih HPnya yang ada di
dalam tasnya, dia pun menunjukan SMS dari Fauzi. Bu Eli pun membacanya.
‘Apa
benar ini SMS dari Fauzi?’ Tanya bu Eli. Henry
menganggukan kepalanya. ‘Benar bu. Itu SMS dari Fauzi.’ Kata Diah
spontan.
Bu Eli menghela
nafasnya dan bertanya. ‘Kenapa kamu nekat melakukan hal seperti itu sendirian
hen?’
Henry pun
menjawab. ‘Karena saya tidak tahan melihat Diah menderita seperti itu.’
‘Kenapa kamu
begitu peduli padanya? Apa karena dia pacar kamu?’ Tanya bu Eli.
‘Bukan, Diah itu
teman saya dan saya nggak rela kalau teman saya disakiti seperti itu.’ Jawab
Henry. Bu Eli pun menepuk pundak Henry dan berkata dengan lembut. ‘Henry, kalau
kamu sayang teman-teman kamu. Carilah jalan keluar yang lain, jangan pernah
gunakan kekerasan untuk menyelesaikannya, mengerti?’
Henry pun menganggukan
kepalanya. Henry berdiri dari kursinya dan berdiri ditengah para orang tua dan
anak-anaknya yang sedang duduk memperhatikan dia. ‘Tolong maafkan saya untuk
hari ini. Maaf sudah merepotkan.’ Kata Henry sambil membungkukan badannya.
Semuanya sudah
pulang dengan lega, kecuali Henry, ibu dan orang tua Fauzi. Ayah Fauzi
mendekati ibu dan berkata. ‘Tolong maafkan kelakuan anak saya ya bu. Sebagai
permintaan maaf, biar saya tanggung biaya Rumah Sakit Henry ya.’ ‘Papa
apa-apaan sih? Buat apa kita bantu janda tua ini merawat anak autisnya itu?’
Sambar ibu Fauzi.
Henry pun
mendekati ibu Fauzi sambil menatapnya dengan tajam penuh dengan nyali yang
besar.
‘Tante, saya tidak peduli tante
mau bilang saya autis atau apa. Tapi, saya tidak terima kalau tante menghina
ibu saya.’ Kata Henry dengan Nada mengancam.
Ibu menepuk pundak anaknya dengan
lembut dan berkata. ‘Sudahlah nak. Maaf saya tidak bisa menerimanya.
Assalamualaikum.’ Mereka berdua pun pergi meninggalkan orang tua Fauzi. Ibu
Fauzi hanya membuang muka pada mereka dengan angkuhnya.
Ibu menghentikan
sebuah Angkot dan menaikinya bersama anaknya.
‘Bu, kita nggak salah Angkot
nih?’ Tanya Henry yang duduk di ujung bersebrangan dengan ibunya.
‘Kita mau ke
Dokter kulit.’ Jawab ibu.
Henry terkejut
dan bertanya. ‘Ngapain?’
Ibu pun menjawab.
‘Periksa bekas luka yang ada di pipi kamu itu.’ Jawab ibu kalem.
‘Nggak apa-apa
kok bu.’ Kata Henry pura-pura merasa baik sambil mencoba menyentuh bekas
lukanya itu. Tapi, saat bekas lukanya benar-benar disentuh, dia teriak
kesakitan.
‘Nggak apa-apa
gimana?’ Ledek ibu.
‘Iya deh.’ Kata
Henry pasrah.
Akhirnya, mereka
sampai di tempat tujuan. Tempatnya seperti klinik biasa dengan toko-toko di
sekitarnya. Setelah sekian lama menunggu di ruang tunggu, akhirnya namanya
dipanggil juga. Henry pun memasuki pintu kayu itu dengan perlahan. Dia melihat
ruangan serba putih dan ada seorang Dokter yang sedang duduk di kursinya. Henry
pun duduk di kursi yang ada didepan meja Dokter itu.
‘Ada apa nak?’
Tanya Dokter itu.
‘Ini dok, saya mau periksa bekas luka ini dok.’ Jawab Henry
menunjuki bekas luka yang ada di pipinya itu.
Dokter itu pun membuka kapas dan
plester yang membaluti pipi Henry itu dan memeriksanya dengan senternya.
Setelah sekian lama, Dokter itu kembali membaluti bekas luka Henry dengan kapas
dan plaster yang baru.
‘Ya, cukup. Boleh
saya bicara dengan ibu atau orang yang nganter ade kesini?’ Kata Dokter.
Henry pun
mengiyakan permintaan Dokter. Dia keluar dan memanggil ibunya untuk masuk ruang
Dokter. Ibu pun masuk ke Ruang Dokter dan Henry hanya duduk di Ruang Tunggu.
‘Anak saya kenapa
dok?’ Tanya ibu agak khawatir.
‘Saya khawatir,
ada tumor di pipinya bu.’ Jelas Dokter. Ibu pun schoked.
‘Tumor itu harus segera diangkat melalui proses Operasi.
Kemungkinan itu hanya kista hanyalah 5%. Saya sebenarnya bisa bantu hanya saja,
peralatan disini tidak lengkap untuk menjalankan Operasi tersebut.’ Lanjut
Dokter.
‘Baiklah dok,
saya pamit dulu.’ Kata Ibu yang sudah berdiri dari kursinya.
‘Tunggu dulu.
Jika bekas lukanya menggembung, dia benar-benar harus segera di operasi sebelum
terlambat.’ Kata Dokter memperingatkan.
Ibu hanya menganggukan kepalanya dan
meninggalkan Ruang Dokter.
Ibu pun membayar
administrasi dan mengajak anaknya pulang.
“Tidak mungkin ada tumor di pipinya.
Ya Allah, jangan sampai itu terjadi.” Ucap benak ibu.
Akhirnya, Diah
pulang juga. Dia langsung duduk di sofanya dengan santai melepas lelah, ibunya
tersenyum dan duduk disebelah putrinya itu. Ibunya senang sekali melihat
putrinya pulang.
‘Siapa cowok yang nyelametin kamu itu?’ Tanya ibu Diah.
‘Siapa? Henry?’
Jawab Diah kebingungan.
‘Iya itu! Nak
Henry.’ Kata ibu.
‘Emangnya kenapa
bu?’ Tanya Diah heran.
‘Dia pacar kamu
ya?’ Goda ibunya.
‘Nggak lah bu.’
Kata Diah bete.
‘Tapi ibu suka
kalau dia pacaran sama kamu. Apalagi nikah!’ Kata ibunya.
‘Ah, nggak bu.’
Kata Diah kesal sampai pergi ke kamarnya.
Ibunya hanya
tersenyum. Setidaknya, dia lega karena, putrinya memiliki seorang guardian angel bernama Henry yang tulus melindunginya.
Diah berbaring di
kasurnya sambil memainkan HPnya. Dia telusuri inboxnya dan dia menemukan SMS dari Henry. Dia membacanya sampai
menangis. Dia teringat Henry yang selalu tersenyum didepannya, perasaan apa
ini? Diah pun mengirim SMS pada Henry.
“Hai Henry! Lagi
ngapain?”
HP Henry
berdering menandakan ada SMS masuk. Henry meletakan piringnya dan membaca SMS
yang ia terima, wajahnya mulai memerah dan ia mulai senyum-senyum sendiri.
‘Dari Diah ya?’ Goda ibu yang duduk didepannya. Muka Henry makin memerah.
‘Kamu suka sama
si Diah ya?’ Goda ibu.
‘I, iya bu.’
Jawab Henry malu.
‘Jangan pacaran
dulu deh, nggak baik.’ Cegah ibu.
‘Iya lah bu,
Henry juga nggak mau sakit hati lagi. Kan lebih baik menjadi jomblo berprestasi
daripada pacaran kan?’ Kata Henry santai.
Ibunya tersenyum.
Dia mengusap rambut anaknya dan berkata. ‘Gitu dong anak ibu.’
Henry mulai membals SMS Diah
dan mereka pun SMSan sampai jam 11 malam atau bisa dibilang sampai diomelin
ibunya masing-masing untuk tidur.
0 komentar:
Posting Komentar